Jumat, 01 Juni 2012

OBAT HEPATITIS

Posted by Unknown on Jumat, Juni 01, 2012 in | No comments
TESTIMONIAL: Akhir Kisah Derita Hepatitis 
(Trubus Senin, 12 Maret 2007/ http://www.trubusonline.com)

Ibu Elis menderita hepatitis sejak 1998. Ia yang saat itu berusia 25 tahun menduga dirinya sakit mag. Nestapa itu bermula tatkala Elis mengeluh sakit tak terperi di ulu hati. 'Makan saya memang tidak teratur,' katanya.

Sekarang ibu Elis hamil. Kehadiran sang jabang bayi di rahim Hj Elis tidak disambut suka-cita. Hatinya justru resah. Ia khawatir dirinya mewariskan virus hepatitis B yang telah 10 tahun bersarang di tubuh.
Hasrat menggugurkan janin sempat terlintas di benak ibu 35 tahun itu. Elis resah membayangkan penderitaan yang akan dilalui anaknya jika kelak terlahir ke dunia.
Kemoterapi
Beberapa waktu kemudian rasa sakit kembali menyambangi ulu hati Elis. Kali ini kondisinya bertambah buruk. Perut kian membuncit. 'Seperti hamil 7 bulan,' ujarnya. Sekujur tubuh pucat dan lunglai. Bila telapak tangan ditekan dengan jari, tak kembali memerah. Keduanya dingin.

Khawatir kondisinya kian memburuk, Rahmat pun segera bertolak ke RS Pelni, Jakarta Pusat. Di sana Elis dirawat di instalasi gawat darurat. Setelah darah diperiksa dan perutnya dipindai dengan ultrasonografi (USG), teka-teki penyebab sakit Elis akhirnya terjawab. Ia terjangkit virus hepatitis B. Kadar HVDNA positif pada darah mencapai 1.527 pg/ml. Itu menunjukkan kadar virus hepatitis yang bersarang di aliran darah. Hasil USG menunjukkan, separuh hatinya telah mengeras alias sirosis.

Elis tak menyangka dirinya berada di ambang maut. Bayangan ajal sempat melintas di pikirannya yang sedang galau. Namun, Elis tak mau pasrah begitu saja menghadapi vonis dokter. Ia pun menanyakan peluang kesembuhan bakal diraih. 'Kami hanya bisa berusaha. Perkara kesembuhan itu ada di tangan Tuhan,' kata Elis menirukan ucapan dokter ketika itu.

Dokter menyarankan agar Elis menjalani terapi 3TC, salah satu terapi untuk menghalau virus hepatitis yang mengganas di tubuhnya. Ia mesti rutin mengkonsumsi obat berupa kapsul sekali sehari dan tidak boleh terlewat. Ia juga mesti rutin diperiksa setiap bulan untuk memantau perkembangan virus.

Purnama demi purnama ia lalui. Tak terasa dua tahun ia sudah menjalani terapi. Namun, alamat kesembuhan tak jua tampak. Jumlah virus dalam darah berfluktuasi. Suatu kali jumlah virus anjlok hingga 32 pg/ml. Tak lama kemudian jumlahnya kembali melonjak. Melihat hasil yang tidak stabil, dokter menyimpulkan terapi itu gagal.

Padahal, pada sebagian besar pasien hepatitis B, terapi 3TC tergolong tokcer. Keberhasilan terapi tergantung kecocokan dengan tubuh si pasien. Kegagalan itu mungkin disebabkan tubuh menolak reaksi obat,' kata Elis mengulang ucapan dokter.
Interferon
Pada 2001, Elis kembali disarankan menjalani terapi. Kali ini jenis obat yang digunakan adalah interferon. Obat itu disuntikan melalui pembuluh darah. Dalam sepekan, Elis mesti menjalani 3 kali terapi di RS Pelni. Menurut Prof Dr dr Nurul Akbar SpPD KGEH, ahli hepatologi di Jakarta, interferon dikenal kalangan medis berfaedah memperbaiki hati. 'Namun, tingkat keberhasilan interferon hanya 10-15%,' kata Nurul. Meski di lapangan interferon sanggup mengurangi penderitaan akibat hepatitis sebanyak 40%, tapi kemampuannya memusnahkan virus masih kecil.

Itulah yang dirasakan Elis. Setahun terapi, lagi-lagi tak menampakkan hasil. Virus hepatitis tak juga beranjak dari tubuhnya. Bahkan efek samping terapi mulai tampak. 'Rambut saya rontok dan tubuh lemas terus,' kata Elis. Ia pun memutuskan berhenti terapi.

Pada 2003, Elis kembali menjalani terapi. Ketika itu pemerintah mendatangkan obat baru yang konon ampuh mengentaskan virus hepatitis di negara asalnya. Namun, baru beberapa bulan mengkonsumsi obat, efek samping mulai terasa. 'Sumsung tulang belakang saya seperti tersedot, sakit sekali. Lidah saya tak berasa, nafsu makan hilang, tubuh saya juga lemas,' katanya.

Meski harus bergelut dengan rasa sakit, Elis bertekad meneruskan terapi. Seraya menjalani terapi, Elis tak tinggal diam. Ia getol berburu informasi tentang obat hepatitis di berbagai media. Begitu juga Rahmat. Ia menyambangi pasar Glodok yang marak penjaja obat tradisional cina. 'Saya membeli obat cina yang berharga jutaan rupiah,' kata Rahmat.

Susu kambing

Lagi-lagi jerih payahnya itu kandas. Alih-alih membawa kesembuhan, malah ngilu di sekujur tubuh yang didapat. Suatu ketika, masih 2003, sebuah media swasta mempublikasi acara yang mengupas faedah susu kambing bagi kesehatan. Karena penasaran, Elis menghubungi redaksi media itu dan meminta nomor telepon peternak yang menjual susu kambing ettawa. Ia bersama suami kemudian mengunjungi peternak itu di Bogor.

Tiba di rumah, Elis mengkonsumsi susu kambing hingga 2 liter per hari. Ia juga tetap mengkonsumsi obat terapi. Beberapa bulan mengkonsumsi susu kambing, alamat kesembuhan mulai terasa. 'Rasa sakit dan lemas yang biasanya dirasakan selama terapi kini beragsur hilang. Badan saya lebih bugar,' katanya. Pada 2004, sang suami mengajak Elis bertolak ke luar negeri. 'Ketika tiba di tanahair, tubuh saya tetap bugar,' imbuh ibu 2 anak itu. Ia akhirnya menghentikan terapi dan hanya mengkonsumsi vitamin.

Bukti kesembuhan itu juga datang ketika jabang bayi hadir di rahim Elis. Rasa terkejut, bahagia, dan resah bercampur-aduk dalam batin Elis. 'Saya terkejut. Orang yang sedang kemoterapi biasanya mustahil bisa hamil karena efek samping terapi yang menyebabkan rahim menjadi kering', katanya. Ia juga bahagia karena telah 10 tahun tidak menimang-nimang sang bayi.

0 komentar:

Posting Komentar